DINAMIKA PERKAWINAN ADAT DALAM PERMOHONAN ISBAT NIKAH
oleh: Riki Dian Saputra, S.H.I.
Pernikahan secara adat terkadang masih dapat ditemui pada daerah tertentu. Pernikahan yang mana dilaksanakan dengan aturan yang berlaku secara adat dapat mengakibatkan sepasang pria dan wanita untuk hidup bersama hingga mempunyai keturunan. Pernikahan tersebut dilaksanakan dengan tidak memenuhi aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sehingga keabsahannya hanya mengikat pada masyarakat adat pasangan yang bersangkutan dimana mereka bermukim. Sedangkan sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Lantas bagaimana pasangan tersebut jika hendak mengisbatkan pernikahnnya untuk memperoleh kutipan akta nikah.
Di dalam artikel ini, penulis akan memberikan perumpamaan kasus. Seorang pria menikah dengan seorang wanita pada suatu komunal kehidupan masyarakat adat tertentu di suatu wilayah tertentu dan dengan latar belakang suku serta agama yang berbeda. Dari hasil pernikahan tersebut ada yang sudah diberikan keturunan dan ada juga yang belum. Kondisi pernikahan ini berlangsung sekitar 5 (tahun) yang lalu oleh seorang laki-laki dengan status lajang dan seorang gadis.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pernikahan adat terjadi, salah satunya yaitu kelompok masyarakat yang tetap mempertahankan nilai-nilai adat leluhur mereka sehingga belum membuka diri dengan berkembangnya zaman. Karena ada anggapan dengan berubahnya zaman akan menghilangkan nilai-nilai adat para pendahulunya yang telah mereka anut hingga zaman moderen ini.
Perkawinan adat yang belum mentransformasi hukum Negara ke dalam hukum adat akan memberikan dampak pernikahan tidak tercatat. Dari data perkara permohonan itsbat nikah yang penulis ambil dari Pengadilan Agama Bengkayang sejak 2018-2020 menemukan beberapa penyebab pernikahan tidak tercatat, di antaranya ketidaktahuan akan pentingnya surat nikah dan berkas pendaftaran pernikahan tidak diteruskan ke Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama setempat.
Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan menurut hukum Islam dan KHI yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan adat yang disebut juga dengan Ritual adat, dimaksudkan supaya perkawinan tersebut sah dan diakui oleh adat setempat. Perkawinan adat mempunyai tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan didalam Rumah tangga, mendapatkan keturunan serta pendidikan anak. Pandangan penulis mengenai perkawinan adat agar tetap dilestarikan untuk menjaga ciri khas budaya pada suatu daerah tidak hilang. Dengan harapan hukum adat bersikap dinamis kemudian berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum Negara yang berlaku hingga era sekarang ini. Bahwa perkawinan adat yang telah mengalami akulturasi dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu yang dalam hal ini penulis ambil contoh agama Islam, merupakan perkawinan yang sah menurut adat dan agama. Jika calon pasangan suami istri ingin memperoleh pencatatan terhadap pernikahannya tersebut untuk yang beragama Islam di KUA, maka aturan-aturan beserta syarat pencatatan pernikahan sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal 6 dan 7 Undang-undang tentang Perkawinan harus terpenuhi. Kemudian untuk tertib administrasi pencatatan pernikahan dapat mempedomani Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Pernikahan baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatatkan oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. pada prinsipnya menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Pernikahan yang hanya dilaksanakan dengan ritual adat dan belum dilakukan menurut hukum masing-masing agama (agama Islam) tidak dapat diisbatkan. Oleh karena itu, harus dilaksanakan pernikahan ulang dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Menurut Van Vollenhoven dalam buku Penemuan Hukum Adat menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Karena hukum adat tidak tertulis, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum oleh aparat Negara, sebagaimana diterangkan oleh Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 31).
Penutup:
Penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan dalam penulisan artikel ini dan penulis mohon dibantu saran dan kritik yang membangun demi kebaikan serta kesempurnaan penulis dimasa sekarang dan InsyaAllah dikesempatan artikel selanjutnya.
Semoga Alloh SWT memberikan keridhoan dan cahaya terang atas pemikiran ini serta dapat bermanfaat bagi seluruh para pembaca dalam meningkatkan wawasan keilmuan.
Terima Kasih.
Daftar Rujukan:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaiaman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan;
- Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, Jakarta: Djambatan, 1987;
- Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1978.