| WIB

logo

idaren

Ditulis oleh Syarif Firdaus on . Dilihat: 796

ANTINOMI DALAM MENEGAKKAN TUJUAN HUKUM

Oleh: Muh. Yusuf, S.H.

Perdebatan tentang tujuan hukum dalam dunia akademis begitupun bagi para penegak hukum merupakan perdebatan yang tidak pernah berhenti sampai sekarang, hal ini didasarkan pada pemikiran dari berbagai aliran-aliran besar dalam dunia hukum yang membahas tentang tujuan hukum yaitu, aliran etis yang mengatakan bahwa tujun hukum untuk tecapainya keadilan, bagi aliran utilitis tujuan hukum untuk kemanfaatan, dan bagi aliran positiv/normatif tujuan hukum demi tercapainya kepasti hukum.

Pemikiran yang berjalan secara partikular dari ketiga aliran tersebut dalam penerapannya untuk mencapai tujuan hukum selalu menimbulkan antinomi tujuan hukum, terutama antara keadilan dan kepastian hukum. Karena hal itu, Gustav Radbruch kemudian menggabungkan ketiga aliran tersebut, menurutnya hukum yang baik ialah hukum yang memuat nilai dasar keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Akan tetapi Gustav Radbruch juga menyadari bahwa menyandingkan ketiga hal tersebut dalam satu perkara hukum merupakan persoalan yang sangat sulit, oleh karena itu Gustav Radbruch menyusun suatu asas yang dikenal dengan asas prioritas yang kasuistik, asas ini menjelaskan bahwa penerapan tujuan hukum diprioritaskan menurut kasus yang dihadapi, walaupun pada awalnya Gustav Radbruch

Indonesia sebagai negara yang secara sistem hukum lebih kental dengan sistem hukum civil law (eropa kontinental), dimana dalam sistem tersebut lebih mengedepankan kepastian hukum karena salah satu hal yang paling mendasar dalam sistem civil law adalah adanya kodivikasi hukum yang berarti setiap aturan haruslah dimuat dalam satu undang-undang atau peraturan lainnya demi kepastian hukum. Perlu diingat bahwa apabila dalam suatu negara dimana kepastian hukum sangat diprioritaskan maka bukan tidak mungkin berlakulah adagium yang berbunyi “summum ius summa iniura” yang artinya keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan tertinggi. Adagium tersebut dimaksudkan agar pelaksanakan law enforcemen tidak hanya memperhatikan kepastian hukum sehingga menjadikan penegak hukum hanya sebagai undang-undang yang berbicara. Penegak hukum harus cermat dalam melakukan interpretasi terhadap undang-undang karena tanpa interpretasi yang cermat akan berlaku lex dura sed tamen scripta yang artinya undang-undang memang keras tapi begitulah adanya (bunyinya).

Prof. Mahfud MD. dalam bukunya berjudul Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Pertama menawarkan solusi paradigmatik dalam menjebatani antara kepastian hukum dan rasa keadilan, beliau menjelaskan bahwa perlu adanya pergeseran  orientasi paradigma atas konep negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dengan paradigma ini, setiap upaya dalam penegakan hukum bisa melepaskan diri dari jebakan formalistik-prosedural dan mendorong para penegak hukum untuk cermat dan berani dalam menggali nilai-nilai keadilan serta menegakan etikan dan moral di dalam masyarakat untuk menyelesaikan kasus hukum..

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa peran aparatur penegak hukum sangatlah menentukan arah law enforcemen, begitupun pembuat undang-undang sangat menentukan arah politik hukum suatu negara. Dalam hal ini Mahkamah Agung sangatlah tepat menerbitkan pedoman penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dilingkungan peradilan umum, sebagai bagian dari usaha untuk menggali nilai keadilan lebih lanjut tehadap penerapan penegakan hukum tindak pidana tertentu yang selama ini diabaikan oleh aturan-aturan terdahulu.

Hubungi Kami

PENGADILAN AGAMA BENGKAYANG

Jalan Basuki Rachmat Kelurahan Bumi Emas Bengkayang
Provinsi Kalimantan Barat

 (0562) 4431073
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Copyright @ 2020, Pengadilan Agama Bengkayang